Transportasi Konvensional Vs
Transportasi online
Pada selasa 22 maret 2016 Ribuan
sopir taksi dan angkutan umum lainya telah melakukan unjuk rasa besar-besaran
di depan Gedung DPR, Jalan Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat. Dalam unjuk
rasa yang dilakukan kedua kalinya ini, mereka kembali menuntut pemerintah
menertibkan angkutan transportasi berbasis online seperti Grab Car dan Uber
Taxi. Demonstrasi hari ini dilakukan para sopir taksi karena merasa belum ada
titik temu terkait tuntutan mereka untuk membekukan penyedia jasa transportasi
online seperti Grab dan Uber. Penggunaan kendaraan plat hitam sebagai angkutan
umum dinilai melanggar Undang-undang Lalu Lintas nomor 2 tahun 2009 tentang
Angkutan Umum dan Jalan Raya.
Persaingan antara transportasi umum
konvensional seperti taxi,ojek, bajaj, dll dengan layanan transportasi umum
online, dari dulu sudah berjalan tidak seimbang. Hal tersebut disebabkan karena
ketidakadilan pemerintah dalam menetapkan aturan untuk transportasi umum
konvensional khususnya pada UU No 22 tahun 2009. Dimana semua perusahaan jasa
layanan angkutan umum terkena berbagai seperti PPH badan, PPH pribadi, pajak
transaksi, termasuk pajak keuntungan juga terkena biaya kir. Sedangkan UU
tersebut tidaklah berlaku pada jasa transportasi umum berbasis onlineSelainain
itu area operasi transportasi umum konvensional sangatlah terbatas, sedangkan
yang berbasis online tidak ada batasnya , dimanapun dan kapanpun mereka bebas
beroperasi. Maka sangat wajar jika tarif yang berlaku pada jenis ransportasi
online ini lebih murah dibandingkan dengan jasa transportasi umum konvensional
, secara otomatis konsumen pun beralih pada mereka karena konsumen tabiatnya
mencari yang murah dan praktis.
Akar masalah
Seperti yang kita ketahui bahwa system ekonomi yang negeri kita anut adalah system ekonomi Kapitalis-neoliberal. Dimana rakyat dibiarkan bersaing di lapangan ekonomi dengan prinsip survival of the fittest. Yang kuat dialah yang berkuasa artinya yang kalah modal, kalah teknologi, kalah kuasa politik dibiarkan mati.Dan faktanya persaingan itu seringkali berjalan tidak seimbang. Selalu ada keberpihakan pemerintah kepada pemodal kuat, apalagi asing.
Seperti yang kita ketahui bahwa system ekonomi yang negeri kita anut adalah system ekonomi Kapitalis-neoliberal. Dimana rakyat dibiarkan bersaing di lapangan ekonomi dengan prinsip survival of the fittest. Yang kuat dialah yang berkuasa artinya yang kalah modal, kalah teknologi, kalah kuasa politik dibiarkan mati.Dan faktanya persaingan itu seringkali berjalan tidak seimbang. Selalu ada keberpihakan pemerintah kepada pemodal kuat, apalagi asing.
Kisruh transportasi diatas tidak
jauh berbeda dengan pembiaran berdirinya mall-mall dan minimarket-minimarket di
berbagai wilayah negeri ini. Berdirinya mall-mall atau minimarket tersebut pada
hakikanya telah menelantarkan pasar tradisional yang pada akhirnya mereka akan
kalah bersaing bahkan gulung tikar, apalagi dengantt tidak ada batasan jumlah
minimarket yang berdiri mengakibatkan jumlah minimarket tersebut banyak
bertebaran sampai ke pelosok desa hingga bias mematikan warung-warung kecil
disekitarnya. Sangat jelas, hal seperti ini bukan lagi persaingan pasar yang
sehat.
Islam sebagai solusi
Sampai saat ini pemerintah belum menetapkan solusi terbaik atas kisruh transpotasi ini. Yang disayangkan pula ada sebagian pakar menyalahkan bahwa pemilik angkutan umum yang kurang tanggap mengantisipasi kemajuan teknologi.Padahal bukan disitu persoalannya. Problem utamanya justru pada regulasi yang dibuat pemerintah yang tidak berlaku adil pada semua pelaku usaha. Kelihatan jelas pemerintah selalu berpola kapitalistik dan berpihak pada pemilik modal kuat.
Sampai saat ini pemerintah belum menetapkan solusi terbaik atas kisruh transpotasi ini. Yang disayangkan pula ada sebagian pakar menyalahkan bahwa pemilik angkutan umum yang kurang tanggap mengantisipasi kemajuan teknologi.Padahal bukan disitu persoalannya. Problem utamanya justru pada regulasi yang dibuat pemerintah yang tidak berlaku adil pada semua pelaku usaha. Kelihatan jelas pemerintah selalu berpola kapitalistik dan berpihak pada pemilik modal kuat.
Dalam kasus ini seharusnya
pemerintah memberikan perlakuan adil kepada semua pelaku usaha, baik yang
menggunakan jasa tekhnologi berbasis online ataupun konvensional.Misalnya
dengan mengeluarkan UU untuk mengatur tentang tansportasi yang berlaku untuk
seAktiviusahaan penyedia layanan transportasi serta membatasi dan mengontrol
jumlah transportasi yang beroperasi sehingga tidak akan ada lagi kecemburuan
social yang timbul dari keidakadilan kebijakan pemerintah dan tidak akan
terjadi lagi persaingan tidak sehat yang berakhir pada kerusuhan diantara
pelaku usaha.
1. Taksi konvensional suka mangkal
Merdeka.com - Keberadaan transportasi berbasis aplikasi masih menimbulkan
pertentangan. Selain itu, transportasi berbasis aplikasi masih masih berstatus
ilegal karena merangkul kendaraan-kendaraan pelat hitam untuk menjalankan
operasinya.
Di sisi lain, masyarakat memilih
menggunakan transportasi berbasis aplikasi lantaran dinilai lebih efisien,
nyaman dan relatif lebih murah dibandingkan transportasi umum.
Terkait dengan murahnya ongkos
transportasi berbasis aplikasi, Sekjen Koperasi Jasa Trans Usaha Bersama, Musa
Emyus menilai, transportasi umum sebenarnya bisa murah. Banyaknya taksi yang
mangkal menjadi penyebab tingginya operasional taksi.
"Sebenarnya untuk efisien juga
harusnya rezim pangkalan dihapus," ujar Musa di Warung Daun, Cikini, Jakarta, Sabtu (26/3).
Selayaknya, lanjut dia, mekanisme
yang berlaku adalah sistem antre atau 'first in first out'. Musa mengatakan,
pusat-pusat kegiatan umum seperti pusat perbelanjaan, seharusnya menyiapkan
tempat untuk keberadaan taksi.
"Siapa yang antre duluan dia
keluar duluan 'first in first out'. Harusnya itu mall sediakan," pungkas
dia.
2. Pendapatan hilang 50 persen
Merdeka.com - Paguyuban Pengemudi Angkutan Darat (PPAD) mengeluhkan pendapatan yang menurun drastis sejak adanya transportasi berbasis aplikasi. Bahkan, penurunannya mencapai 50 persen dari total pendapatan yang diterima sopir taksi setiap harinya."Penghasilan kami paling cuma Rp 300.000 dulu bisa Rp 700.000. Itu belum setoran," ujar Sekjen PPAD, Juni Prayitno di Warung Daun, Cikini, Jakarta, Sabtu (26/3).
Merosotnya penghasilan para sopir taksi ini membawa masalah beruntun hingga hubungan di dalam rumah tangga para sopir. Puncaknya, asosiasi sopir ini pun melakukan aksi demontrasi besar-besaran dan melakukan aksi kekerasan pada Selasa (22/3).
"Kemarin itu akumulasi kekesalan, banyak anak yang putus sekolah karena penghasilan berkurang. Belum lagi masalah rumah tangga," kata Juni.
Aksi demonstrasi tersebut menimbulkan pertanyaan masyarakat lantaran dinilai salah sasaran. Tidak sedikit masyarakat yang menilai seharusnya aksi demonstrasi ditujukan kepada perusahaan-perusahaan taksi yang mematok setoran tinggi.
Terhadap pendapat ini, Juni menilai, demontrasi ke perusahaan taksi pun salah sasaran. Sebab, tarif taksi sudah ditentukan oleh pemerintah daerah.
"Tarif batas bawah dan batas atas ini kan ditentukan oleh Pergub. Kami tahu itu. Kalau kami demonstrasi ke perusahaan juga salah alamat. Karena itu kan sudah ditentukan pemerintah daerah," jelas dia.
Saat ini, lanjut Juni, para sopir taksi sedang menunggu ketegasan pemerintah untuk menertibkan operasional moda transportasi berbasis aplikasi yang menggunakan kendaraan pelat hitam tersebut.
"Kami menunggu pemerintah sampai 31 Mei ini akan diblokir kalau tidak mengurus perizinan," pungkas dia.
3. Perusahaan taksi mati suri
Merdeka.com - Sekretaris DPD Organda DKI Jakarta, JH Sitorus mengatakan, kondisi perusahaan taksi saat ini semakin memprihatinkan. Penyusutan pendapatan menjadi alasan banyaknya perusahaan taksi yang tutup kegiatan operasi."Dari 36 perusahaan taksi tinggal 20, 17 hampir mati suri," ujar Sitorus di Warung Daun, Cikini, Jakarta, Sabtu (26/3).
Sitorus menegaskan, penyusutan pendapatan perusahaan taksi bukan disebabkan adanya persaingan usaha dengan sesama perusahaan taksi konvensional. Namun, semenjak mulai beroperasinya moda transportasi berbasis aplikasi, penghasilan pengemudi merosot dan berimbas kepada kinerja perusahaan taksi.
"Yang paling parah setelah 2 tahun ini ada yang ilegal ini. 40-60 persen penghasilan mereka (perusahaan taksi) turun. Bukan kami bersaing dengan perusahaan gede ini (Blue Bird dan Ekspress)," imbuh Sitorus.
Sitorus menambahkan, perusahaan taksi tidak bisa menurunkan tarif setoran para pengemudi taksi lantaran perusahaan-perusahaan tersebut sudah kolaps tanpa harus menurunkan setoran pengemudi.
"Tidak usah diturunkan setoran juga sudah kolaps kok," tegas Sitorus.
4. Minta aturan disetarakan
Merdeka.com - Keberadaan moda transportasi berbasis aplikasi menimbulkan kecemburuan dari pelaku jasa transportasi konvensional seperti taksi. Sebab, biaya operasional moda transportasi berbasis aplikasi dinilai lebih murah sehingga bisa menyediakan layanan transportasi nyaman dan murah.Hal ini membuat semakin banyak masyarakat yang beralih dari moda transportasi konvensional ke moda transportasi berbasis aplikasi.
Sekretaris DPD Organda DKI Jakarta, JH Sitorus mengatakan, moda transportasi konvensional membutuhkan biaya besar untuk bisa beroperasi. Sitorus menyebut pos-pos biaya yang cukup besar antara lain pengadaan armada transportasi yang harus baru, perawatan, biaya pool dan KIR kendaraan.
"Banyak hal yang benar-benar memberatkan pengusaha angkutan umum. Sekarang kalau kita beli kendaraan minimal harus ada uang muka 20 persen dan kita juga ada beban bunga. Pakai yang bekas kami tidak bisa. Uber, Grab kan tidak," ujar Sitorus di Warung Daun, Cikini, Jakarta, Sabtu (26/3).
Sitorus menilai pemerintah bersikap tidak adil apabila tidak segera menertibkan operasional moda transportasi berbasis aplikasi tersebut. Lebih tegas, Sitorus meminta kesetaraan perlakuan pemerintah.
"Kami minta kesetaraan. Banyak hal yang bisa dipangkas kalau pemerintah mau membenahi ini. Buat kesetaraan aturan disana. Kalau tidak bisa diatur, bebaskan semua, ini kan kami diikat. Kalau mereka bisa Rp 3.000 per buka pintu, kami bisa Rp 2.000 (buka pintu taksi) kalau memang dibebaskan. Jangan ada dusta di antara kita," jelas dia.
5. GrabCar harus dikenakan pajak
Merdeka.com - Keberadaan moda transportasi berbasis aplikasi masih belum bisa diterima oleh pelaku industri transportasi konvensional. Salah satunya, penyedia layanan aplikasi transportasi tersebut belum tersentuh mekanisme pajak.Pakar Hukum dan Regulasi Mohamad Mova Al Afghani menilai pemerintah sudah harus mulai merancang aturan pajak bagi penyedia transportasi berbasis aplikasi seperti Uber dan GrabCar. Merancang aturan tersebut tentu harus melibatkan banyak pihak, termasuk Kementerian Keuangan.
"Harus dikenakan pajak," ujar Mova di Warung Daun, Cikini, Jakarta, Sabtu (26/3).
Menurut Mova, aturan pajak untuk perusahaan dan pegawai sudah sangat jelas. Yang menjadi persoalan adalah pihak yang akan dibebankan pajak.
"Intinya PPh 21, PPh Badan, PPh 23, PPN kan, itu kan sudah ada aturannya, cuma kan ini mau diberlakukan ke siapa? Itu harus dikaji," kata Mova.
Pihak yang paling mudah untuk dikenai pajak adalah sopir transportasi berbasis aplikasi. Konsekuensinya, harga akan menjadi sedikit lebih mahal.
"Menurut saya ya paling gampang beri pajak sopir, sopir diberi pajak, dia naikkan tarifnya, sedikit lebih mahal tapi masih untung karena dia itu bukan foreign direct investment (FDI). Kalau FDI orang luar ke dalam negeri bawa modal, bawa barang, bawa pabrik, bangun punya tanah. Dia (penyedia jasa transportasi aplikasi) cuma punya aplikasi saja, mobil bukan punya dia, sopir juga bukan, masih untung menurut saya," pungkas dia
No comments:
Post a Comment