KISAH
HIDUP CHAIRUL TANJUNG SI ANAK SINGKONG
Chairul Tanjung lahir di Jakarta, 16 Juni 1962 dalam keluarga yang
sederhana. Ayahnya A.G. Tanjung adalah wartawan zaman orde lama di sebuah surat
kabar kecil. Chairul berada dalam keluarga bersama enam saudara
lainya. Pengusaha sukses asal indonesia ini dikenal luas sebagai pendiri
sekaligus pemimpin, CT Corp (sebelum 1 Desember 2011 bernama Para Group)
Sejarah Singkat Kehidupan Chairul
Tanjung
|
Riwayat Pendidikan
Berikut selengkapnya latar belakang pendidikan seorang Chairul Tanjung.
Berikut selengkapnya latar belakang pendidikan seorang Chairul Tanjung.
- SD Van Lith, Jakarta (1975)
- SMP Van Lith, Jakarta (1978)
- SMA Negeri I Boedi oetomo, Jakarta (1981)
- Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Indonesia (1987)
- Executive IPPM (MBA; 1993)
Kisah Hidup Perjalan Chairul Tanjung
Si Anak Singkong telah ditulis dalam sebuah buku yang
berjudul “si anak singkong” buku ini mengisahkan tentang perjalanan hidup chairul
tanjung dari kecil hingga sukses seperti saat ini. Buku setebal 360 halaman
yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas (PBK) ini disusun oleh wartawan Kompas
Tjahja Gunawan Adiredja. Buku ini diberi kata pengantar oleh Jakob Oetama,
Pendiri dan Pemimpin Umum Harian Kompas,
Menurut saya buku ini sangatlah
inspiratif dan penting sekali untuk kita baca. Penuturan cerita yang apa adanya
membuat jauh dari kesan berlebihan atau mendramatisir keadaan. Berbagai kisah
yang membuat saya tergetar haru dan speechless.
Buku yang merupakan kisah perjalanan
hidup seorang pengusaha sukses di negeri ini. Chairul Tanjung, adalah pemilik
beberapa perusahaan besar seperti stasiun televisi swasta ( Trans TV), Trans
Studio, hotel, bank, dan terakhir kabarnya menjadi salah salah satu
pembeli 10% saham perusahaan penerbangan papan atas Indonesia ( Garuda ) dsb dll.
Untuk menuliskan ekstrak sebuah buku
setebal 384 halaman tentu tidak cukup mudah. Namun di sini saya ingin berbagi
sedikit kisah yang semoga bermanfaat bagi Anda yang belum sempat membaca buku
tersebut ( sejujurnya, saya berharap sahabat semua menyempatkan untuk
membacanya suatu saat nanti). Maka, saya coba menuangkan beberapa kenangan masa
kanak-kanak hingga masa kuliah saja, segera setelah saya selesai membacanya,
hari ini.
Chairul Tanjung kecil melalui
hari-hari penuh keceriaan sebagai anak pinggiran kota Metropolitan. Bermain
bersama teman-teman dengan membuat pisau dari paku yang digilaskan di roda rel
dekat rumahnya di Kemayoran, adalah kegiatan seru yang menyenangkan. Juga
bersepeda beramai-ramai di akhir pekan ke kawasan Ancol, sambil jajan penganan
murah, buah lontar.
Kelas 1 hingga kelas 2 SD sekolah
diantar jemput oleh Kak Ana, seorang sanak keluarga dari Sibolga, dengan naik
oplet. Selanjutnya kelas 3 SD sudah bisa pulang-pergi sekolah sendiri.
Saat usia SMP, Bapaknya ( Abdul
Gafar Tanjung ) yang saat itu telah mempunyai percetakan, koran, transportasi
dll gulung tikar dan dinyatakan pailit oleh pemerintah karena idealismenya yang
bertentangan dengan pemerintah yang berkuasa saat itu ( Soeharto). Sang ayah
adalah Ketua Partai Nasional Indonesia (PNI) Ranting Sawah Besar. Semua koran
Bapaknya dibredel. Semua aset dijual hingga tak memiliki rumah satu pun.
Mungkin demi gengsi, di awal-awal,
Bapaknya menyewa sebuah losmen di kawasan Kramat Raya, Jakarta untuk tinggal
mereka sekeluarga. Hanya satu kamar, dengan kamar mandi di luar yang kemudian
dihuni 8 orang. Kedua orang tua Chairul, dan 6 orang anaknya, termasuk Chairul
sendiri.
Tidak kuat terus-menerus membayar
sewa losmen, mereka kemudian memutuskan pindah ke daerah Gang Abu, Batutulis.
Salah satu kantong kemiskinan di Jakarta waktu itu. Rumah tersebut adalah rumah
nenek Chairul, dari ibundanya, Halimah.
Ibunya adalah sosok yang jarang
sekali mengeluhkan kondisi, sesulit apapun keadaan keluarga. Namun saat itu,
Chairul melihat raut wajah ibunya sendu, tidak ceria dan tampak lelah. Setelah
ditanya, lebih tepatnya didesak Chairul, Ibunya baru berucap : ”Kamu punya
sedikit uang, Rul? Uang ibu sudah habis dan untuk belanja nanti pagi sudah
tidak ada lagi. Sama sekali tidak ada”.
( Tidak diceritakan lebih jelas
akhirnya mendapat solusi dari mana, namun kita bisa tahu bahwa di usia SMP,
Chairul sudah menyadari bagaimana kesulitan orang tuanya, bahkan untuk makan
sehari-hari. Dan Ibunya adalah sosok yang sangat tabah menjalani kerasnya
kehidupan).
Setamat kuliah, Chairul berekan
dengan orang lain dalam membangun sebuah pabrik sepatu. Setelah 3 bulan awal
dimulainya pabrik tersebut dilalui dengan terlunta-lunta dengan tanpa pesanan.
Disaat pabrik terancam bangkrut, datanglah pesanan sendal dari luar negeri
sejumlah 12.000 pasang dengan estimasi 6.000 pasang dikirim awal. Dan
berubahlah pabrik tersebut dari pabrik sepatu menjadi pabrik sendal. Saat
melihat hasil kerja pabrik tersebut, pihak pemesan merasa tertarik dan langsung
melakukan pesanan kembali bahkan mencapai angka 240.000 pasang padahal yang
awalnya 12.000 pasang tadi masih 6.000 pasang yang dikirim. Mulailah pabrik
tersebut berkembang. Setelah beberapa lama akhirnya Chairul memutuskan berhenti
berekan dan mulai membangun bisnis dengan modal pribadi dan menjelma menjadi
pengusaha yang mandiri.
Pada tahun 1994, Chairul resmi
meminang gadis pujaannya yaitu Anita yang juga merupakan adik kelasnya sewaktu
kuliah. Dan pada tahun 1996, Chairul memperoleh berkah yang berlimpah karena
pada tahun tersebut lahirlah anak pertamanya dan bersamaan dengan diputuskannya
Chairul sebagai pemilik dari Bank Mega.
Chairul Tanjung dikenal sebagai pengusaha yang agresif, ekspansi usahanya
merambah segala bidang, mulai perbankan dengan bendera Bank Mega Group,
pertelivisian Trans TV dan Trans 7, hotel dengan bendera The
Trans, di bidang supermarket, CT (panggilan akrab Chairul Tanjung)
mengakuisisi Carrefour, pesawat terbang, hingga bisnis hiburan TRANS STUDIO,
dan bisnis lainnya.
Riwayat kehidupan CT kecil bisa
dikatakan terlahir dari keluarga cukup berada kala itu. Dia mempunyai enam
saudara kandung. A.G. Tanjung, ayahnya, adalah mantan wartawan pada era Orde
Lama dan pernah menerbitkan surat kabar dengan oplah kecil.
Namun, ketika terjadi pergantian era
pemerintahan, usaha ayahnya itu tutup karena ayahnya mempunyai pemikiran yang
berseberangan dengan penguasa politik saat itu. Keadaan tersebut memaksa kedua
orang tuanya menjual rumah dan harus rela menjalani hidup seadanya. Mereka pun
kemudian menyewa sebuah losmen dengan kamar-kamar yang sempit.
Kondisi ekonomi keluarganya yang
sulit membuat orang tuanya tidak sanggup membayar uang kuliah Chairul yang
waktu itu hanya sebesar Rp75.000. “Tahun 1981 saya diterima kuliah di Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Indonesia (UI). Uang masuk ini dan itu total
Rp75.000. Tanpa saya ketahui, secara diam-diam ibu menggadaikan kain halusnya
ke pegadaian untuk membayar uang kuliah,” katanya lirih.
Melihat pengorbanan sang ibu, ia
lalu berjanji tidak ingin terus-menerus menjadi beban orang tua. Sejak saat
itu, ia tidak akan meminta uang lagi kepada orang tuanya. Ia bertekad akan
mencari akal bagaimana caranya bisa membiayai hidup dan kuliah.
CT pria kelahiran Jakarta, 18 Juni
1962 pada awalnya memulai bisnis kecil-kecilan. Dia bekerjasama dengan pemilik
mesin fotokopi, dan meletakkannya di tempat strategis yaitu di bawah tangga
kampus. Mulai dari berjualan buku kuliah stensilan, kaos, sepatu, dan aneka
barang lain di kampus dan kepada teman-temannya. Dari modal usaha itu, ia
berhasil membuka sebuah toko peralatan kedokteran dan laboratorium di daerah
Senen Raya, Jakarta. Sayang, karena sifat sosialnya – yang sering memberi
fasilitas kepada rekan kuliah, serta sering menraktir teman – usaha itu
bangkrut.
Memang terbilang terjal jalan yang
harus ditempuh Chairul Tanjung sebelum menjadi orang sukses seperti sekarang
ini. Kepiawaiannya membangun jaringan bisnis telah memuluskan perjalanan
bisnisnya. Salah satu kunci sukses dia adalah tidak tanggung-tanggung dalam
melangkah.
Menurut penuturan Chairul, gedung
tua Fakultas Kedokteran UI dulu belum menggunakan lift. Dari lantai satu hingga
lantai empat masih menggunakan tangga. Lewat ruang kosong di bawah tangga ini,
Chairul muda melihat peluang yang bisa dimanfaatkannya untuk menghasilkan uang.
“Nah, kebetulan ada ruang kosong di
bawah tangga. Saya lalu berpikir untuk bisa memanfaatkannya sebagai tempat
fotokopi. Tapi, masalahnya, saya tidak mempunyai mesin fotokopi. Uang untuk
membeli mesin fotokopi pun tidak ada,” tuturnya.
Dia pun lantas mencari akal dengan mengundang
penyandang dana untuk menyediakan mesin fotokopi dan membayar sewa tempat.
Waktu itu ia hanya mendapat upah dari usaha foto kopi sebesar Rp2,5 per lembar.
“Sedikit ya. Tapi, karena itu daerah kampus, dalam hal ini mahasiswa banyak
yang fotokopi, maka jadilah keuntungan saya lumayan besar,” katanya sambil
melempar senyum.
Tidak hanya sampai di situ, ia pun
terus berusaha mengasah kemampuannya dalam berbisnis. Usaha lain, seperti usaha
stiker, pembuatan kaos, buku kuliah stensilan, hingga penjualan buku bekas
dicobanya. Usai menyelesaikan kuliah, Chairul memberanikan diri menyewa kios di
daerah Senen, Jakarta Pusat, dengan harga sewa Rp1 juta per tahun.
Kios kecil itu dimanfaatkannya untuk
membuka CV yang bergerak di bidang penjualan alat-alat kedokteran gigi. Sayang,
usaha tersebut tidak berlangsung lama karena kios tempat usahanya lebih sering
dijadikan tempat berkumpul teman-temannya sesama aktivis. “Yang nongkrong lebih
banyak ketimbang yang beli,” kata mahasiswa teladan tingkat nasional 1984-1985
ini.
Selang berapa tahun, ia mencoba
bangkit dan melangkah lagi dengan menggandeng dua temannya mendirikan PT
Pariarti Shindutama yang memproduksi sepatu.
Ia mendapatkan kredit ringan dari
Bank Exim sebesar Rp150 juta. Kepiawaiannya membangun jaringan bisnis membuat
sepatu produksinya mendapat pesanan sebanyak 160.000 pasang dari pengusaha
Italia.
Bisnisnya terus berkembang. Ia mulai
mencoba merambah ke industri genting, sandal, dan properti. Namun, di tengah
usahanya yang sedang merambat naik, tiba-tiba dia terbentur perbedaan visi
dengan kedua rekannya. Ia pun memutuskan memilih mundur dan menjalankan sendiri
usahanya.
Memang tidak jaminan, seseorang yang
berkarier sesuai dengan latar belakang pendidikannya akan sukses. Kenyataannya
tidak sedikit yang berhasil justru setelah mereka keluar dari jalur.
“Modal dalam usaha memang penting,
tapi mendapatkan mitra kerja yang andal adalah segalanya. Membangun kepercayaan
sama halnya dengan membangun integritas dalam menjalankan bisnis,” ujar Chairul
Tanjung yang lebih memilih menjadi seorang pengusaha ketimbang seorang dokter
gigi biasa.
Dan pilihannya untuk menjadi
pengusaha menempatkan CT sebagai salah satu orang terkaya di Indonesia dengan
total kekayaan mencapai 450 juta dolar AS. Sebuah prestasi yang mungkin tak
pernah dibayangkannya saat memulai usaha kecil-kecilan, demi mendapat biaya
kuliah, ketika masih kuliah di UI dulu.
Hal itulah yang barangkali membuat
Chairul Tanjung selalu tampil apa adanya, tanpa kesan ingin memamerkan
kesuksesannya. Selain itu, rupanya ia pun tak lupa pada masa lalunya.
Karenanya, ia pun kini getol menjalankan berbagai kegiatan sosial. Mulai dari
PMI, Komite Kemanusiaan Indonesia, anggota Majelis Wali Amanat Universitas
Indonesia dan sebagainya. “Kini waktu saya lebih dari 50% saya curahkan untuk
kegiatan sosial kemasyarakatan,” ungkapnya.
Kini Grup Para mempunyai kerajaan
bisnis yang mengandalkan pada tiga bisnis inti. Pertama jasa keuangan seperti
Bank Mega, Asuransi Umum Mega, Aanya yaitu bisnis televisi, TransTV. Pada
bisnis pertelevisian ini, ia juga dikenal berhasil mengakuisisi televisi yang
nyaris bangkrut TV7, dan kini berhasil mengubahnya jadi Trans7 yang juga cukup
sukses.
Langkah ekspansi selanjutnya adalah
mendirikan perusahaan patungan dengan mantan wapres Jusuf Kalla membentuk taman
wisata terbesar “TRANS STUDIO” di Makassar, untuk menyaingi keberadaan
Universal Studio yang ada di Singapura. Taman hiburan dalam ruangan terbesar di
Indonesia inipun sekarang telah merambah kota Bandung, dan sebentar lagi
kota-kota besar di Indonesia lainnya.
Chairul merupakan salah satu dari
tujuh orang kaya dunia asal Indonesia. Dia juga satu-satunya pengusaha pribumi
yang masuk jajaran orang tajir sedunia. Enam wakil Indonesia lainnya adalah
Michael Hartono, Budi Hartono, Martua Sitorus, Peter Sondakh, Sukanto Tanoto
dan Low Tuck Kwong.
Berkat kesuksesannya itu Majalah
Warta Ekonomi menganugerahi Pria Berdarah Minang/Padang sebagai salah seorang
tokoh bisnis paling berpengaruh di tahun 2005 dan Dinobatkan sebagai salah satu
orang terkaya di dunia tahun 2010 versi majalah Forbes dengan total kekayaan $1
Miliar.
Sumber : Buku Kisah Hidup Chairul
Tanjung Si Anak Singkong